Jumat, 18 Desember 2009

Buat kaum muslimah

Assalamu'alaikum
Antara Qadha dan Fidyah Bagi Ibu Hamil dan Menyusui
14Aug2009 Kategori: Fiqh Muslimah, Kesehatan Muslimah, Pojok Hikmah
Penyusun: Ummu Ziyad
Murajaah: Ust. Aris Munandar
Kondisi fisik seorang wanita dalam menghadapi kehamilan dan saat-saat menyusui memang berbeda-beda. Namun, pada dasarnya, kalori yang dibutuhkan untuk memberi asupan bagi sang buah hati adalah sama, yaitu sekitar 2200-2300 kalori perhari untuk ibu hamil dan 2200-2600 kalori perhari untuk ibu menyusui. Kondisi inilah yang menimbulkan konsekuensi yang berbeda bagi para ibu dalam menghadapi saat-saat puasa di bulan Ramadhan. Ada yang merasa tidak bermasalah dengan keadaan fisik dirinya dan sang bayi sehingga dapat menjalani puasa dengan tenang. Ada pula para ibu yang memiliki kondisi fisik yang lemah yang mengkhawatirkan keadaan dirinya jika harus terus berpuasa di bulan Ramadhan begitu pula para ibu yang memiliki buah hati yang lemah kondisi fisiknya dan masih sangat tergantung asupan makanannya dari sang ibu melalui air susu sang ibu.
Kedua kondisi terakhir, memiliki konsekuuensi hukum yang berbeda bentuk pembayarannya.
1. Untuk Ibu Hamil dan Menyusui yang Mengkhawatirkan Keadaan Dirinya Saja Bila Berpuasa
Bagi ibu, untuk keadaan ini maka wajib untuk mengqadha (tanpa fidyah) di hari yang lain ketika telah sanggup berpuasa.
Keadaan ini disamakan dengan orang yang sedang sakit dan mengkhawatirkan keadaan dirinya. Sebagaimana dalam ayat,
“Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (Qs. Al Baqarah[2]:184)
Berkaitan dengan masalah ini, Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Kami tidak mengetahui ada perselisihan di antara ahli ilmu dalam masalah ini, karena keduanya seperti orang sakit yang takut akan kesehatan dirinya.” (al-Mughni: 4/394)
2. Untuk Ibu Hamil dan Menyusui yang Mengkhawatirkan Keadaan Dirinya dan Buah Hati Bila Berpuasa
Sebagaimana keadaan pertama, sang ibu dalam keadaan ini wajib mengqadha (saja) sebanyak hari-hari puasa yang ditinggalkan ketika sang ibu telah sanggup melaksanakannya.
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Para sahabat kami (ulama Syafi’iyah) mengatakan, ‘Orang yang hamil dan menyusui, apabila keduanya khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya, maka dia berbuka dan mengqadha. Tidak ada fidyah karena dia seperti orang yang sakit dan semua ini tidak ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah). Apabila orang yang hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya akan membahayakan dirinya dan anaknya, maka sedemikian pula (hendaklah) dia berbuka dan mengqadha, tanpa ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah).’” (al-Majmu’: 6/177, dinukil dari majalah Al Furqon)
3 .Untuk Ibu Hamil dan Menyusui yang Mengkhawatirkan Keadaan si Buah Hati saja
Dalam keadaan ini, sebenarnya sang ibu mampu untuk berpuasa. Oleh karena itulah, kekhawatiran bahwa jika sang ibu berpuasa akan membahayakan si buah hati bukan berdasarkan perkiraan yang lemah, namun telah ada dugaan kuat akan membahayakan atau telah terbukti berdasarkan percobaan bahwa puasa sang ibu akan membahayakan. Patokan lainnya bisa berdasarkan diagnosa dokter terpercaya - bahwa puasa bisa membahayakan anaknya seperti kurang akal atau sakit -. (Al Furqon, edisi 1 tahun 8)
Untuk kondisi ketiga ini, ulama berbeda pendapat tentang proses pembayaran puasa sang ibu. Berikut sedikit paparan tentang perbedaan pendapat tersebut.
Dalil ulama yang mewajibkan sang ibu untuk membayar qadha saja.
Dalil yang digunakan adalah sama sebagaimana kondisi pertama dan kedua, yakni sang wanita hamil atau menyusui ini disamakan statusnya sebagaimana orang sakit. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Bin Baz dan Syaikh As-Sa’di rahimahumallah
Dalil ulama yang mewajibkan sang Ibu untuk membayar fidyah saja.
Dalill yang digunakan adalah sama sebagaimana dalil para ulama yang mewajibkan qadha dan fidyah, yaitu perkataan Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, “Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin.” ( HR. Abu Dawud)
dan perkataan Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhu ketika ditanya tentang seorang wanita hamil yang mengkhawatirkan anaknya, maka beliau berkata, “Berbuka dan gantinya memberi makan satu mud gandum setiap harinya kepada seorang miskin.” (al-Baihaqi dalam Sunan dari jalan Imam Syafi’i, sanadnya shahih)
Dan ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil bahwa wanita hamil dan menyusui hanyaf membayar fidyah adalah, “Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar diyah (yaitu) membayar makan satu orang miskin.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 184)
Hal ini disebabkan wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan anaknya dianggap sebagai orang yang tercakup dalam ayat ini.
Pendapat ini adalah termasuk pendapat yang dipilih Syaikh Salim dan Syaikh Ali Hasan hafidzahullah.
Dalil ulama yang mewajibkan sang Ibu untuk mengqadha dengan disertai membayar fidyah
Dalil sang ibu wajib mengqadha adalah sebagaimana dalil pada kondisi pertama dan kedua, yaitu wajibnya bagi orang yang tidak berpuasa untuk mengqadha di hari lain ketika telah memiliki kemampuan. Para ulama berpendapat tetap wajibnya mengqadha puasa ini karena tidak ada dalam syari’at yang menggugurkan qadha bagi orang yang mampu mengerjakannya.
Sedangkan dalil pembayaran fidyah adalah para ibu pada kondisi ketiga ini termasuk dalam keumuman ayat berikut,
“…Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin…” (Qs. Al-Baqarah [2]:184)
Hal ini juga dikuatkan oleh perkataan Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, “Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam Irwa’ul Ghalil). Begitu pula jawaban Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhu ketika ditanya tentang wanita hamil yang khawatir terhadap anaknya, beliau menjawab, “Hendaklah berbuka dan memberi makan seorang miskin setiap hari yang ditinggalkan.”
Adapun perkataan Ibnu Abbas dan Ibnu ‘Umar radhiallahu’anhuma yang hanya menyatakan untuk berbuka tanpa menyebutkan wajib mengqadha karena hal tersebut (mengqadha) sudah lazim dilakukan ketika seseorang berbuka saat Ramadhan.

Demikian pembahasan tentang qadha dan fidyah yang dapat kami bawakan. Semoga dapat menjadi landasan bagi kita untuk beramal. Adapun ketika ada perbedaan pendapat dikalangan ulama, maka ketika saudari kita menjalankan salah satu pendapat ulama tersebut dan berbeda dengan pendapat yang kita pilih, kita tidak berhak memaksakan atau menganggap saudari kita tersebut melakukan suatu kesalahan.
Semoga Allah memberikan kesabaran dan kekuatan bagi para Ibu untuk tetap melaksanakan puasa ataupun ketika membayar puasa dan membayar fidyah tersebut di hari-hari lain sambil merawat para buah hati tercinta. Wallahu a’alam.
Maraji’:
Majalah As Sunnah Edisi Khusus Tahun IX/1426H/2005M
Majalah Al Furqon Edisi 1 Tahun VII 1428/2008
Majalah Al Furqon Edisi Khusus Tahun VIII 1429/2008
Kajian Manhajus Salikin, 11 Desember 2006 bersama Ust. Aris Munandar hafidzahullah
Panduan dan Koreksi Ibadah-Ibadah di Bulan Ramadhan, Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah. Majelis Ilmu. Cet 1 2008
***
Artikel muslimah.or.id





Qodho (Mengganti) Puasa yang Tertunda
Soal:
Beberapa tahun yang lalu saya berbuka pada hari-hari haid dan saya belum sempat mengqodhonya sampai sekarang. Padahal sudah beberapa tahun silam, dan (kini) saya ingin mengqodho tanggungan puasa saya, tetapi saya tidak ingat berapa hari yang haru saya bayar. Apa yang harus saya lakukan?

Jawab:
Wajib bagimu melakukan tiga perkara:
Pertama: Taubat kepada Allah Ta’ala dari kesalahan ini (menunda-nunda qodho’ puasa) serta menyesali perbuatan ini dan bertekad untuk tidak mengulanginya, berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“…Dan bertaubatlah kepada Allah wahai orang-orang yang beriman agar kalian beruntung.” (QS. an-Nur [24]:31)
Sedangkan menunda kewajiban ini adalah maksiat dan bertaubat kepada Allah Ta’ala adalah wajib.
Kedua: Segera berpuasa sesuai dengan yang diyakini, karena Allah tidak membebani hamba melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Karenanya, yang engkau yakini bahwasannya engkau meninggalkan hari-hari yang menjadi tanggunganmu, itulah yang engkau bayar. Apabila kamu meyakini sepuluh hari, maka hendaklah puasa sepuluh hari, dan jika engkau meyakini bahwasannya itu lebih atau kurang, maka hendaklah engkau berpuasa sesuai dengan keyakinanmu itu. Ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Allah tidak membebani hamba kecuali dengan kesanggupannya…” (Qs. al-Baqarah [2]:286)
dan firman Allah Ta’ala:

“Bertakwalah kepada Allah sesuai dengan kemampuan kalian…” (Qs. at-Taghabun [64]:6)
Ketiga: Memberi makan seorang fakir miskin setiap harinya jikalau engkau mampu melakukannya dengan memberikan semuanya walaupun kepada satu orang miskin. Adapun jika engkau tidak mampu, maka tidak mada kewajiban apapun bagimu selain puasa dan taubat. Dan memberi makan yang wajib kepada setiap harinya ½ sha’ dari makanan pokok suatu daerah dan ukurannya 1½ kg bagi orang yang mampu.
(Fatwa Syaikh Abdul Aziz Abdullah bin Baz)
2. Tidak Membayar Puasa Karena Melahirkan
Soal:
35 tahun yang lalu, saya melahirkan pada bulan Ramadhan. Kemudian dua tahun berikutnya, saya melahirkan pada bulan Ramadhan juga, dan saya tidak berpuasa melainkan hanya 10 hari. Dan sekarang saya seorang wanita yang berusia lanjut dan sakit-sakitan. Apakah yang harus saya lakukan?
Jawab:
Apabila engkau telah sembuh, wajib bagimu berpuaswa pada hari yang engkau tinggalkan, baik pada Ramadhan pertama atau yang kedua disertai memberi makan kepada fakir miskin pada setiap harinya (jika engkau memang meremehkan permasalahan membayar puasa ini, padahal engkau mampu).
Adapun kewajiban memberi makan fakir miskin untuk setiap harinya ½ sha’ berupa kurma atau beras dari makanan pokok suatu daerah atau 1½ kg dengan timbangan, dengan memberikannya kepada fakir miskin baik satu ataupun dua orang ataupun keluarga fakir miskin. Itu semua cukup bagimu, disertai dengan berpuasa dan bertaubat.
Adapun jika engkau menunda qodho’ Ramadhan karena sakit tanpa disertai unsur peremehan, maka wajib bagimu membayar puasa yang engkau tinggalkan itu dan tidak ada kewajiban memberi makan fakir miskin dikarenakan engkau mendapatkan udzur syar’i, berdasarkan firman Allah:
“…Barangsiapa yang sakit atau melakukan perjalanan jauh, hendaklah mengganti pada hari-hari yang lain…” (Qs. al-Baqarah [2]:85)
3. Berpuasa Setelah Suci dari Nifas
Soal:
Jika seorang wanita mendapat kesuciannya dari nifas dalam satu pekan, kemudian ia berpuasa bersama kaum muslimin di bulan Ramadhan selama beberapa hari. Kemudian (ternyata) darah itu keluar lagi. Apakah ia harus meninggalkan puasa dalam situasi seperti ini? Dan apakah ia harus mengqadha hari-hari puasa yang ia jalani selama beberapa hari tersebut dan hari-hari puasa yang ia tinggalkan?
Jawab:
Jika seorang wanita mendapat kesuciannya dari nifas sebelum 40 hari lalu ia puasa beberapa hari, kemudian darah itu keluar lagi sebelum 40 hari, maka puasanya sah. Dan hendaknya ia meninggalkan shalat dan puasa pada hari-hari ketika darah itu keluar lagi karena darah itu dianggap darah nifas hingga ia suci atau hingga sempurna 40 hari.
Dan jika telah mencapai 40 hari, maka wajib baginya untuk mandi walaupun darah itu masih tetap keluar, karena 40 hari adalah akhir masa nifas menurut pendapat yang paling benar di antara dua pendapat ulama. Dan setelah itu, hendaknya ia berwudhu untuk setiap waktu shalat hingga darah itu berhenti mengalir darinya, sebagaimana yang diperintahkan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam kepada wanita yang mustahadhah (mengluarkan darah istihadhah) dan boleh bagi suaminya untuk mencampurinya setelah 40 hari walaupun ia masih mengeluarkan darah, karena darah dan kondisi yang demikian adalah darah rusak (darah istihadhah) yang tidak menghalangi seorang wanita untuk shalat dan puasa serta tidak menghalangi suaminya untuk menggauli istrinya pada saat itu. Akan tetapi jika keluarnya darah itu sesuai dengan masa haidhnya, maka ia harus meninggalkan shalat dan puasa karena ia dianggap darah haidh.
(Kitab ad Da’wah, Syaikh ibn Baz)
4. Tidak Mampu Meng-qadha Puasa
Soal:
Saya seorang wanita yang sakit. Saya tidak berpuasa beberapa hari di bulan Ramadhan yang lalu dan karena sakit yang saya alami, saya tidak dapat mengqadha puasa. Apa yang harus saya laukan sebagai kaffarah-nya? Dan saya tidak mampu berpuasa di bulan Ramadhan tahun ini, apakah yang harus saya lakukan?
Jawab:
Orang sakit yang menyebabkan sulit baginya untuk berpuasa disyariatkan untuk tidak berpuasa, lalu jika Allah Subhanahu wa Ta’ala memberinya kesembuhan, maka ia harus mengqadha puasanya berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (Qs. al-Baqarah [2]: 185)
Dan anda boleh tidak berpuasa di bulan Ramadhan ini jika Anda masih dalam kondisi sakit, karena tidak berpuasa merupakan keringanan (rukhshah) dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi orang yang sakit serta bagi orang sedang dalam perjalanan (musafir). Dan Allah Subhananhu wa Ta’ala suka jika rukhshah-Nya dijalankan, sebagaimana Allah benci jika perbuatan maksiat dilakukan. Kemudian Anda tetap diwajibkan untuk mengqadha puasa, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi Anda kesembuhan dan memberi kita semua ampunan atas dosa yang telah kita perbuat.”
(Fatawa ash-Shiyam)
Maraji’:
1. Majalah Al Furqon Edisi 4 Dzul Qo’dah 1427 H
2. Majalah Al Furqon Edisi 2 tahun V 1426 H
3. Majalah Nikah edisi khusus, Volume 3 tahun 2004
4. Majalah Nikah edisi kusus, Volume 4 no. 7 tahun 2005
***
Dipublikasikan oleh www.muslimah.or.id
25 Komentar untuk Artikel “Kumpulan Fatwa Ramadhan untuk Muslimah: Qodho Puasa”
1. Abu Abeer
11th September 2008 pukul 7:26 pm
Ramadan Karim, SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA
2. siti
13th September 2008 pukul 4:53 am
ana mau tanya, bulan ramadhan kemarin ibunda ana sakit dan di hari ke 27 ramadhan beliau meninggal, dan selama 27 hari tersebut beliau tidak melaksanakan puasa, apakah ana sebagai anaknya harus membayar puasa beliau
jazakillah atas jawabannya
3. www.muslimah.or.id
13th September 2008 pukul 4:20 pm
berikut ana nukilkan dari artikel di majalah As Sunnah edisi khusus tahun IX. Intinya untuk orang yang mengalami sakit pada bulan Ramadhan, maka dalam masalah ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
Pertama:
Jika penyakitnya termasuk yang diharapkan sembuh, maka boleh bagi seseorang tidak berpuasa hingga dirinya sembuh. Namun, apabila sakitnya berlanjut kemudian orang tsb meninggal, maka tidak wajib membayar fidyah. Karena kewajibannya adalah mengqadha, kemudian dia meninggal sebelum mengerjakannya.
Kedua:
Jika penyakitnya termasuk yang diharapkan untuk sembuh, dan dia tidak berpuasa kemudian dia terbebas dari penyakit itu, tetapi kemudian meninggal sebelum mengqadhanya, maka diperintahkan untuk dibaarkan fidyah dari hari yang ditinggalkan, diambil dari hartanya. Sebab pada asalnya, dirinya mampu untuk mengqadha’ tetapi karena dia mengakhirkannya hingga meninggal, maka dibayarkan untuknya fidyah.
Ketiga:
Jika penyakitnya termasuk yang tidak diharapkan untuk sembuh, maka kewajiban baginya untuk membayar fidyah.

Jadi, dilihat, jenis penyakit dari ibu ukhti siti termasuk yang mana.
Jika jenis pertama, maka ukhti sri silakan mengqadha puasa untuk ibu, jika jenis yang kedua atau ketiga, maka ukhti bisa membayarkan fidyah untuk ibu ukhti.
Wallahu a’lam
4. siti
14th September 2008 pukul 6:30 pm
afwan ana mau tanya lagi, apakah membayar fidyah atau mengqadha puasa untuk ibu ana termasuk wajib apakah sunnah?
5. Evi Resmiati
15th September 2008 pukul 10:27 pm
Assalamu’alaikum wr wb
Saya ingin bertanya, saat ini saya sedang hamil sekitar 2 bulanan. Awal Ramadhan ini saya sempat berpuasa selama 7 hari, tetapi itu juga dengan kondisi saya mengalami rasa mual dan enek pada perut saya dan saya tetap melakukannya sampai waktu berbuka.
Dan untuk hari selanjutnya saya memutuskan untuk tidak menjalankan puasa dikarenakan khawatir dengan janin didalam kandungan saya, dikarenakan saya pernah mengalami keram perut pada waktu saya berpuasa.
Yang ingin saya tanyakan adalah, bagaimana hukumnya untuk kondisi seperti saya, apakah saya harus menqodho puasa yang saya tinggalkan di lain waktu ataukah hanya cukup mebayar fidyah saja.
jazakillah atas jawabannya
6. sandy
16th September 2008 pukul 7:11 am
mau tanya apa hukum wanita shalat tarwih dengan bertabarruj dan apa hukum main film
7. cizkah
18th September 2008 pukul 4:21 am
#siti
Wallahu a’lam tentang hukumnya. Akan tetapi adalah lebih baik bagi ukhti membayarkan atau saudara kandung ukhti lainnya karena berarti ibu ukhti masih memiliki hutang, siapa lagi yang akan membayarkannya jika bukan anaknya sendiri. Mudah-mudahan kita termasuk menjadi anak sholeh dan diberi keturunan anak-anak yang sholeh.
#sandy:
Hukumnya haram bagi wanita bertabarruj baik ketika sholat tarawih atau selainnya. Hukum main film seingat ana juga haram hukumnya. Karena banyak kedustaan dan maksiat di dalamnya. Misalnya memerankan menjadi penjahat, orang kafir, bersandiwara melakukan akad nikah atau bersentuhan dengan yang bukan mahromnya.
wallahu a’lam
8. cizkah
18th September 2008 pukul 4:44 am
#Evi Resmiati:
Ulama berbeda pendapat tentang hal ini. Mudah-mudahan setelah lebaran nanti, ada artikel khusus yang membahas tentang hal ini agar manfaatnya lebih luas untuk para ibu-ibu lain yang memiliki pertanyaan yang sama.
9. os os
18th September 2008 pukul 10:31 pm
#sandy
Yang dimaksud adlh shalat tarawih di masjid?
Bertabaruj ketika keluar rumah hukumnya haram termasuk ketika pergi ke masjid. Bahkan wanita yang shalat ke masjid pake wangi2an, shalatnya tidak diterima sampai dia mandi sehingga hilang bau wangi2an tersebut. Rasulullah bersabda, “Bila seorang wanita ke masjid sementara bau wewangian menghembus dari tubuhnya, maka Allah tidak akan menerima shalatnya hingga dia pulang lalu mandi (baru kemudian shalat ke masjid)” (HR Baihaqi, dinilai shahih oleh syaikh albani dalam kitab beliau Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah)
kalau main film… banyak maksiatnya… hukumnya haram juga.
–> bisa menyia2kan waktu, gak nambah ilmu, nambah dosa…..
daripada ikut main film mending ikut ma’had buat cari ilmu, atau cari buku2 bagus yang bermanfaat dan banyak baca.
–> bisa ngisi waktu, bisa nambah ilmu, bisa nambah pahala…
untung dunia akhirat [insyaAllah]
solusi cerdas kan :)
10. fina
19th September 2008 pukul 7:15 pm
Assalaamu’alaikum
mbak, ane mo tanya, adakah tips untuk muslimah yang lagi haid di 10 hari terakhir ramadhan biar tetep mendapatkan keutamaan lailatul qadar?
Jazaakumullah atas ilmunya…
11. fina
19th September 2008 pukul 7:18 pm
Eh, afwan kalo agak melenceng sedikit dari tema di atas…mohon kiranya ada yang bersedia memberi jawaban…syukron.
12. ummu 'Umar
22nd September 2008 pukul 12:26 am
assalaamu’alaikum warahmatullaah…
afwan..mau tanya, kalo seorang wanita nifas pada bulan ramadhan, setelah sekitar 20 hari yang keluar hanya cairan berwarna kuning sampe sekitar seminggu, kemudian ia bertemu dengan masa haidnya, dan ternyata kembali keluar darah, banyak dan seperti darah haid, dan terus berlangsung berhari2 sampai seminggu sbgmna biasanya haidnya, yang berarti wanita tersebut telah melalui hampir 40 hari masa nifasnya. yang ingin ditanyakan, apakah darah tersebut termasuk nifas meskipun keluar pada siklus haidnya?jika setelah 40 hari darah tersebut masih keluar, apakah wanita tersebut harus berpuasa (darahnya dianggap istihadhah), mungkinkah setelah nifas langsung berlanjut dengan haid tanpa jeda?
tolong dijawab segera ya……..
jazaakumullaahu khairaa….
13. Abu Husam
22nd September 2008 pukul 11:07 pm
waalaikumussalam wa rahmatullah…
wanita adalah orang yang paling tahu tentang keadaan dirinya, kapan masa haidnya dan berapa lama ? dan dia mengenal mana yang biasa disebut darah haid atau darah yang lainnya,darah haid umumnya berwarna kehitam-hitaman, keruh dan berbau tidak sedap, maka kalau seorang wanita nifas yang biasanya batas maksimalnya adalah 40 hari, bukan suatu yang tidak mungkin masa berakhir nifasnya bersambung dengan waktu haid, diketahui dengan 2 perkara, yg 1 waktu kebiasaan haidnya,yg ke 2 warna darahnya,maka harus dibedakan antara masa nifas dan masa haid, walaupun dari sisi hukumnya sama, wajib meninggalkan sholat dan puasa dll. bagaimana kalau lebih dari 40 hari ? sebagian para Ulama’ menjelaskan apabila lebih dari 40 hari maka dianggap darah nistihadhoh, tapi, wallahu a’lam, kalau bisa dibedakan tentang jenis darahnya, apakah darah haid, nifas, istihadhoh, maka hukumnya sesuai dengan konsekuensi jenis darahnya, karena tidak ada batasan syar’i jumlah hari-hari nifas atau haid, banyak sedikitnya,wallahu a’lam,semoga bermanfaat.wassalamu alaikum
14. Abu Husam
22nd September 2008 pukul 11:24 pm
untuk ukhti fina (semoga Allah senantisa menjaga keistiqomahannya dan semangatnya dalam meraih kebaikan)
waalaikumussalam warahmatullah,
banyak sekali keutamaan-keutamaan di akhir bulan ramadhan yang bisa dilakukan oleh seorang muslimah walaupun sedang haid,masih banyak pintu-pintu kebaikan yang bisa dilakukan pada malam-malam ganji,10 hari terakhir,seperti : tilawatul-qur’an, berdzikir,berdoa, bersedekah dll,l,selain dari shalat dengan syarat, waktu-waktu tersebut dalam keadaan berjaga dan melakukan ketaatan yang diperbolehkan bagi wanita haid,dan tidak harus di masjid,wallahu a’lam,wassalamu alaikum.
15. www.muslimah.or.id
22nd September 2008 pukul 11:33 pm
ummu ‘Umar:
Masa nifas bagi wanita memang berbeda-beda. Ukuran maksimal masa nifas bagi wanita adalah 40 hari. Jika setelah itu masih keluar darah, maka darah yang keluar dihukumi darah istihadhah.
Namun, disini masih perlu diperinci. Jika kemudian darah yang keluar setelah 40 hari, kemudian merupakan darah haidh (dapat diketahui dari kondisi darah yang keluar), maka tetap dihukumi darah haidh.
Sebenarnya, untuk pertanyaan pertama, apakah itu darah haidh atau darah nifas memiliki konsekuensi hukum yang sama, yaitu hilangnya kewajiban puasa dan shalat.
Dan setelah nifas, ada kemungkinan berlanjut ke haidh tanpa jeda. Biasanya darah nifasnya sudah mau habis, kemudian keluar lagi darah merah (darah haidh) dan berlangsung sebagaimana masa haidh.
ada fatwa dari syaikh bin baz atau syaikh jibrin tentang hal ini. Sayangnya ana tidak membawa referensi tersebut saat ini.
16. Abu Husam
22nd September 2008 pukul 11:38 pm
untuk ukhti Evi Resmiati semoga Allah selalu merhmatinya.
walaikumussalam warahmatullah.
salah satu keringanan yang Allah anugrahkan kepada hamba-hamba-Nya, diataranya adalah meninggalkan puasa bagi ibu hamil dan menyusui, dan Allah menyukai kalau keringanan yang Allah berikan dikerjakan oleh hamba-hamba-Nya, dan cukup mengantinya dengan membayar fidyah,memberi makan 1x untuk 1 orang miskin sesuai dengan jumlah hari yang ditinggalkannya,wallahu a’lam, ini adalah pendapat yang paling rojih diantara pendapat2 yang ada, demikian juga ini pendapat sahabat Ibn Abbas dan Ibn Umar, Wallahu Muwaffiq
17. umi hanik
10th October 2008 pukul 9:15 pm
gimana hukumnya memiliki ibu yg ga pernah sholat dan ga pernah puasa lalu meninggal dunia trus gimana mengqodhonya
18. zahra
11th October 2008 pukul 12:50 am
assalamu’alaikum…
afwan, saya masih kurang jelas mengenai jawaban di awal pertanyaan di atas……..mengenai orang yang lalai mengqhodo’ puasa tahun lalu:
“Dan memberi makan yang wajib kepada setiap harinya ½ sha’ dari makanan pokok suatu daerah dan ukurannya 1½ kg bagi orang yang mampu.”
kalau misalkan, saya punya tanggungannya 10 hari…maka memberi makan fakir miskin 1,5 Kg tiap harinya sampai 10 hari, begitu ya?
Kalau misalkan, makanan pokoknya beras…..lalu, bisa dibayar dengan beras saja tanpa perlu dimasak?
Apakah dalam rentang 10 hari itu, berbeda2 orangnya (fakir miskinnya) ataukah boleh satu orang saja?
Mohon penjelasannya……
Jazaakumullah khoyr….
Assalamu’alaikum…
19. salam
12th October 2008 pukul 2:02 am
kalau memberi makan fakir miskin itu dilakukan ketika ramadhon bagi orang tua atau orang yang secara medis tak mungkin berpuasa meskipun diluar ramadhon, sedangkan bagi orang yang punya kemampuan puasa tapi berhalangan secara syar’i wajib mengqodhonya dengan berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan. Makanan diatas berupa makanan pokok yang mengenyangkan, sebaiknya diberikan dalam bentuk jadi sehingga dapat dimakan fakir miskin ketika berbuka puasa. Demikian wallohu’alam
20. satria
12th October 2008 pukul 7:28 am
maksudnya adalah membayarkan fidyah dengan memberikan makanan yang mengenyangkan kepada fakir miskin setiap hari yang ditinggalkan/tidak berpuasa (dengan standar menu makanan yang biasa di makan oleh orang yang membayarkan fidyah), jadi kalau tidak berpuasanya selama 10 hari memberikan makannya sebanyak 10 porsi.
Maksud syaikh dengan memberikan 1,5 kg bahan makanan pokok kepada fakir miskin adalah salah satu cara yang bisa dilakukan, adapun cara yang ada riwayatnya adalah riwayat sahabat Anas ketika beliau sudah tua dan tidak mampu lagi untuk berpuasa ramadhan, beliau membayar fidyah seluruhnya pada bulan setelah ramadhan, caranya beliau mengumpulkan 30 orang fakir miskin agar datang untuk makan hidangan FIDYAH beliau.
wallahu a’lam
21. salam
15th October 2008 pukul 5:47 pm
Trims masukannya. Yang saya maksud adalah sebaiknya di berikan dibulan Ramadhon bila mempunyai kemampuan di bulan itu. Hal ini berdasar hadits riwayat Bukhori Muslim ketika ada sahabat yang meminta fatwa karena telah jima’ siang hari dibulan Ramadhon, Nabi saw menyuruh memerdekakan budak,tapi sahabat berkata tidak mampu.Lalu menyuruh berpuasa 2 bulan berturut-turut, tapi sahabat berkata tidak mampu. Lalu menyuruh memberi makan kepada 60 fakir miskin, tapi sahabat juga berkata tak mampu. Lalu diberi oleh Nabi kurma disuruh membagi-bagi pada fakir miskin tapi sahabat berkata dialah yang termiskin di daerah itu, Nabi tersenyum lalu menyuruh diberikan kepada keluargannya di rumah sedang sisanya buat fakir miskin atau tetangga disekitarnya. Hal tersebut dilakukan pada bulan Ramadhon.
Demikian pula tentang berbagai hadits mengenai keutamaan amal atau sedekah di bulan Romadhon. Serta salah satu hikmah fidyah adalah membantu agar fakir miskin bisa berpuasa dengan baik di bulan Romadhon. Demikian wallohu’alam.
22. Ruqoyyah
10th December 2008 pukul 7:08 am
Bismillah…
Ana punya mslah, bln puasa yg lalu ana haid dr tgl 10 rmadhn tp ana lupa brp hr ana haid d’bln puasa tsbt! Ana mw nanya, g’mana cr m’gQadha puasa tsbt smntra ana lupa brp hr puasa yg hrs d’Qadha? Syukron
23. Dhewy
22nd June 2009 pukul 7:29 pm
AssLmLkum..
saya ingin bertanya apakah benar jika puasa yang diganti pada tahun2 berikut setelah Ramadhan maka menggantinya harus dilipat gandakan?
misalnya jika puasa Ramadhan tahun 2005 jika diganti pada tahun 2007 maka jumlahnya mnjadi 2x lipat dan jika diganti pada tahun 2008 maka mnjadi 3x lipat?
24. asy sYifa
23rd June 2009 pukul 1:20 am
# Ruqoyyah
coba ingat kembali brp hari ukhty m’dpt haid.
Ambil jumlah hari, ukhty paling merasa yakin bahwa itulah jumlah hari ukhty m’dpt haid. dan qodho-lah sesuai jumlah tsb… dg tetap meminta ampun pd Allah atas klupaan ukhty;))
# Dhewy
TIDAK benar ukhty.
banyak org yg salah menganggap bahwa bila dtg ramdahan sedangkan ia belum mengqodho hutang puasa tahun ramadhan sblmnya, maka hutang puasa jadi 2 kali lipat adalah anggapan yang keliru.
yg benar, insya Allah. meng-qodho sesuai jumlah hutang puasanya.
akan tetapi, bila alasan ia belum meng-qodho sampai datang Ramadhan berikutnya BUKAN alasan yg syar’i, maka sbgmn yg dijelaskan syaikh di atas, ia harus:
1. bertaubat atas kesalahannya
2. mengqodho hutang puasanya
3. M’beri makan seorang fakir miskin stiap hari (sesuai jumlah hutang puasanya) jika mampu melakukannya dg memberikan semuanya walaupun kepada satu orang miskin. Tp jk tidak mampu, maka tidak mada kewajiban apapun selain puasa dan taubat.
Dan memberi makan yang wajib kepada setiap harinya ½ sha’ dr makanan pokok daerahnya dan ukurannya 1½ kg bagi orang yang mampu.
wallahu Ta’ala a’lam
25. jajang apipudin
6th July 2009 pukul 7:10 pm
apa harus bayar pidyah bagi istrsi yang melaksanakan qodho puasa, tetapi dia diajak oleh suaminya untuk berhubungan (jima’),







































Penulis: Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ust. Aris Munandar
Mulai dan Berakhirnya Bulan Ramadhan
Beberapa tahun terakhir ini, kita merasakan bahwa kaum muslimin di Indonesia memulai dan mengakhiri bulan Ramadhan tidak secara bersamaan.
Tahukah engkau wahai saudariku, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dan mengakhiri puasanya dengan berpedoman dengan melihat hilal. Bila hilal tidak terlihat pun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah memberitahukan alternatif cara, yaitu dengan cara menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30. Begitu pula dengan masuknya bulan Syawal. Maka metode baru, yaitu menentukan masuknya bulan Ramadhan dan Syawal dengan hisab (kalender) tidak dapat dibenarkan karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan penjelasan yang sempurna tentang bagaimana menentukan masuk dan berakhirnya bulan Ramadhan.

Penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut ada pada hadis berikut ini:
“Jika kalian melihat bulan maka berpuasalah, jika kalian melihatnya maka berbukalah, dan jika bulan itu terhalang dari pandangan kalian maka sempurnakan hitungan (Sya’ban) tigapuluh hari.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Alhamdulillah pemerintah kita (Indonesia) dalam menetapkan awal dan berakhirnya Ramadhan dengan metode melihat hilal. Maka turutlah berpuasa dan mengakhiri bulan Ramadhan bersama pemerintah, karena “Puasa itu hari manusia berpuasa dan hari raya itu hari manusia berhari raya.” (HR. Tirmidzi)
Niat Puasa
Nawaituu….shauma ghodiinn… dst. Itulah niat puasa Ramadhan yang biasa dilafalkan setelah selesai shalat tarawih dan witir. Mungkin mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Hafshoh bahwa Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang tidak meniatkan puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Tirmidzi & Ahmad, dishahihkan oleh al Albani dalam al Irwa’)
Tahukah engkau saudariku, hadits tersebut memang shahih. Tetapi penerapannya ternyata tidak sebagaimana yang dikerjakan oleh masyarakat sekarang ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melafalkan niat beribadah seperti shalat, puasa dan lainnya. Karena niat adanya di dalam hati. Maka cukupkan niatmu untuk berpuasa di dalam hati.
Imsak
Imsak adalah bahasa arab yang berarti “Tahanlah”. Lafal ini biasa dikumandangkan di masjid-masjid sekitar 10 menit sebelum adzan subuh di bulan Ramadhan (bahkan jadwalnya pun biasa beredar dan ditempel di rumah-rumah penduduk). Maksudnya dikumandangkannya lafal imsak ini adalah agar orang-orang mulai menahan diri dari makan dan minum sejak dikumandangkannya pengumuman tersebut.
Tahukah engkau wahai saudariku, ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengajarkan dan memberitahukan cara seperti ini. Bahkan sebaliknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa sahur sesaat sebelum terbit fajar. Karena yang menjadi ukuran dimulainya puasa adalah saat terbit fajar. Seperti diceritakan oleh Anas radhiallahu’anhu, ia diceritakan oleh Zaid bin Tsabit radhiallahu’anhu seperti ini,
“Kami makan sahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau shalat.”
Kemudian Anas pun bertanya kepada Zaid, “Berapa lama antara iqomah dan sahur?”
Zaid menjawab, “Kira-kira 50 ayat membaca Al-Qur’an.” (HR. Bukhari)
Sayangnya yang terjadi, saat-saat setelah imsak biasanya juga melalaikan manusia dari ibadah wajib setelah itu, yaitu shalat subuh. Bagaimana tidak, dalam keadaan terkantuk-kantuk sahur, kemudian harus menunggu sekitar 10 menit untuk ibadah shalat. Alih-alih ternyata 10 menit itu dipergunakan untuk tidur sesaat, dan akhirnya membuat seseorang terlambat shalat subuh. Sungguh, memang sesuatu yang tidak diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, walaupun terdapat kebaikan di dalamnya, tetap mengandung keburukan yang lebih banyak.
Do’a Berbuka
Di berbagai media elektronik, sering diputar lafal do’a ini sesaat setelah adzan Maghrib dikumandangkan. “Allahumma… lakasumtu… wa bika aamantu wa ‘ala rizqika afthortu… dst.” Tahukah engkau wahai saudariku, ternyata bukan itu lafal do’a berbuka puasa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Do’a berbuka puasa yang shohih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah:

ذهَبَ الظَّمَأُ وَ ابْتَلَّتِ الْعُرُقُ وَ ثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَا اللّهَ
“Telah hilang rasa dahaga, telah basah kerongkongan dan mendapat pahala insya Allah.” (HR. Abu Dawud)
Ayo hafalkan sejenak. Supaya bertambah pahala yang kita dapatkan setelah berpuasa seharian karena berdo’a dengan do’a yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bid’ah Tarawih??!
Ada sebagian orang yang sangat senang melakukan ibadah, namun kurang memperhatikan kebenaran dalil-dalil ibadah tersebut, atau bahkan tidak mengetahui sama sekali dalil ibadah tersebut. Biasanya, jawabannya ini adalah bid’ah hasanah. Tahukah engkau saudariku, tarawih bukan termasuk bid’ah dan tidak tepat dijadikan alasan pembenaran bagi orang yang melakukan ibadah baru dalam agama. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah melakukan tarawih bersama para sahabatnya ketika beliau masih hidup. Beginilah dikisahkan oleh ibunda kita tercinta Aisyah radhiallahu’anha,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam keluar dan shalat di masjid (pada bulan Ramadhan-pen). Orang-orang pun ikut shalat bersamanya. Dan mereka memperbincangkan shalat tersebut, hingga berkumpullah banyak orang. Ketika beliau shalat, mereka pun ikut shalat bersamanya, mereka memperbincangkan lagi, hingga bertambah banyaklah penghuni masjid pada malam ketiga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dan shalat, ketika malam keempat, masjid tidak mampu menampung jama’ah, hingga beliau hanya keluar untuk melakukan shalat subuh. Setelah selesai shalat (subuh), beliau menghadap manusia dan bersyahadat kemudian bersabda, ‘Amma ba’du. Sesungguhnya aku mengetahui perbuatan kalian semalam, namun aku khawatir diwajibkan atas kalian (shalat tarawih tersebut-pen), hingga kalian tidak mampu mengamalkannya’.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Begitulah belas kasih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya. Karena ketika beliau hidup, wahyu masih turun, maka beliau khawatir jika akhirnya shalat tarawih pada bulan Ramadhan itu diwajibkan bagi umatnya. Dan beliau khawatir hal tersebut tidak sanggup dijalankan oleh umatnya. Dari hadits ini, maka jelas tarawih merupakan sunnah yang telah diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena 3 alasan:
1. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat tersebut selama 4 hari, walau akhirnya ditinggalkan dengan sebab yang telah disebutkan di atas. (Berarti ini termasuk sunnah fi’liyah – perbuatan nabi shallallahu’alaihi wa sallam-)
2. Nabi menyatakan bahwa, “Barangsiapa yang mengikuti shalat bersama imam hingga selesai, maka Allah catat untuknya pahala shalat semalam suntuk.” (HR, Ahmad dishahihkan oleh Syaikh Al-Bani). Berarti tarawih juga termasuk sunnah qauliyah – perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
3. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendiamkan (yang diamnya ini berarti menyetujui) dengan perbuatan para sahabat yang melakukan shalat tarawih berjama’ah.
Antara 11 dan 23?
Jumlah raka’at shalat tarawih di berbagai ma sjid biasanya berbeda-beda, dan yang masyhur di negara kita kalau tidak 11 raka’at maka biasanya 23 raka’at. Lalu, yang mana yang benar ya?
Tahukah engkau saudariku, berdasarkan hadits yang diriwayatkan ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha, ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah shalat malam melebihi 11 raka’at. Namun, berdasarkan penjelasan ulama, maksud hadits ini bukanlah pembatasan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya shalat malam sebanyak 11 raka’at saja. Karena terdapat riwayat shahih lainnya yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat malam sebanyak 13 raka’at. Jadi, maksud perkataan Aisyah radhiallahu ‘anha adalah yang biasa dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah shalat malam tidak lebih dari 11 raka’at.
Nah, bukan berarti menjalankan shalat tarawih sebanyak 23 raka’at adalah kesalahan lho. Karena di hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa, “Barangsiapa yang mengikuti shalat bersama imam hingga selesai, maka Allah catat untuknya pahala shalat semalam suntuk.” (HR, Ahmad)
Dan hadits tentang shalat malam, “Shalat malam itu dengan salam setiap dua raka’at. Jika salah seorang dari kalian takut kedatangan subuh, maka hendaklah ia shalat satu raka’at sebagai witir untuk shalat yang telah ia lakukan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kesimpulannya, jika engkau memilih shalat di masjid (dengan menjaga kaidah-kaidah perginya wanita ke masjid) dan mendapati di masjid tersebut biasa menjalankan shalat tarawih sebanyak 23 raka’at dengan tenang, maka engkau tidak perlu berhenti pulang setelah mendapati 8 raka’at. Ataupun jika shalat sendirian juga tidak mengapa jika ingin memperbanyak shalat 23 raka’at, 39 raka’at atau 41 raka’at. Namun, yang lebih utama adalah melakukannya sebanyak 11 raka’at sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan. Wallahu a’lam bi shawab.
Maraji’:
1. Majalah Al Furqon Edisi 2 tahun II
2. Majalah Al Furqon Edisi 1 tahun VII
3. Kajian 4 Ramadhan 1429 H, kitab Majalis Syahri Ramadhan karya Syaikh Ibn Utsaimin oleh Ust. Aris Munandar
4. Tahajud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Sa’id bin’Ali bin Wahf a-Qathani. Media Hidayah cetakan ke-3
5. Sifat Puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaih Salim bin Ied al-Hilaly & Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. al-Mubarok cetakan ke-4







































Soal Jawab: Pembukuan Al-Quran
Kategori: Sejarah Islam
Pertanyaan:
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ustadz, ana adalah seorang ikhwan yang masih belajar ilmu syar’i yang - Alhamdulillah - ana tuntut dari ustadz salafi. Ana pernah berdiskusi dengan orang yang berpikiran sekuler yang menyatakan bahwa menurut tinjauan politik ( karena dia kuliah di fakultas politik universitas negeri terkenal di Yogyakarta ), mushaf Al-qur’an yang telah ada di tangan kaum muslimin sekarang ini adalah mushaf Ustmani. Dia menyatakan bahwa pada masa pemerintahan sahabat Ustman r.a ada pergolakan politik antara Ustman r.a. dengan Ali bin Abi Thalib r.a. Karena pergolakan politik inilah, Ustman yang merupakan khalifah pertama yang membukukan al - qur’an tidak mau mengambil hafalan al - qur’an dari para sahabat pendukung Ali r.a. Ana jadi kasihan sama dia karena dia terpengaruh pemikiran sekuler. Tolong ustadz memberikan penjelasan tentang hal ini ! dan bagaimana saya memberikan nasehat padanya tentang hal ini ? Atas perhatian dan jawaban ustadz, saya ucapkan jazakallah khairan. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Jawaban Ustadz:
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, sahabat dan setiap orang yang meniti jalannya hingga hari kiamat, amiin.
Langsung saja, ucapan orang tersebut membuktikan bahwa ia tidak paham/tidak pernah membaca sejarah umat islam. Sebab khalifah pertama yang membukukan/mengumpulkan Al Quran adalah khalifah Abu bakar As Shiddiq rodhiallohu ‘anhu, dan bukan khalifah Utsman bin Affan rodhiallohu ‘anhu. Yang dilakukan oleh sahabat Utsman bin Affan adalah menyatukan bacaan Al Quran dengan menggunakan logat bahasa orang-orang Quraisy, tak lebih dan tak kurang dari itu. Adapun pembukuan Al Quran pertama dilakukan pada zaman Abu Bakar, akan tetapi kala itu tidak disatukan dengan satu logat. Karena perlu diketahui bahwa Al Quran diturunkan oleh Alloh dalam tujuh logat bahasa Arab, dan dahulu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan/membolehkan seluruh bacaan Al Quran tersebut, dengan berbagai perbedaan logat bahasa. Akan tetapi karena perbedaan logat bahasa ini menimbulkan perselisihan di tengah-tengah umat Islam, yaitu pada masa Utsman bin Affan, maka beliau memerintahkan agar seluruh umat islam membaca Al Quran dengan satu logat, yaitu logat orang-orang Quraisy dan pembukuannya pun disesuaikan dengan logat tersebut. Inilah ringkas cerita yang terjadi pada masa khalifah Utsman bin Affan. Bukan seperti yang dikatakan oleh orang tersebut.
Sebab kedua, tidak pernah ada di zaman khalifah Utsman bin Affan rodhiallohu ‘anhu terjadi pergolakan politik antara Khalifah Utsman bin Affan rodhiallohu ‘anhu dengan sahabat Ali bin Abi Thalib rodhiallohu ‘anhu. Bahkan sahabat Ali bin Abi Thalib rodhiallohu ‘anhu adalah salah seorang kepercayaan Khalifah Utsman bin Affan rodhiallohu ‘anhu. Sehingga ini adalah salah satu bukti besar bahwa orang tersebut over acting, mentang-mentang belajar ilmu politik, kemudian dengan sembarangan berkomentar tentang Islam dan sejarah Islam. Dan menganalisa berbagai kejadian sejarah islam berdasarkan kaidah-kaidah ilmu politik yang ia pelajari, walaupun kaidah-kaidah tersebut menyelisihi prinsip-prinsip agama islam.
Umat Islam apalagi para sahabat tidaklah jahat semacam para politikus yang ia kenal. Umat Islam, apalagi para sahabat memiliki hati nurani yang bersih dan jujur lagi obyektif dalam menyikapi setiap masalah. Dan sikap mereka senantiasa mencerminkan bahwa mereka berjiwa luhur dan penuh iman kepada Alloh dan hari pembalasan. Mereka tidak mengenal penghalalan segala macam cara untuk mencapai tujuan, apalagi sampai memanipulasi atau menolak kebenaran karena hanya faktor kepentingan pribadi atau golongan. Kejiwaan para sahabat jauh dan terlalu luhur bila dibanding dengan beraneka ragam manusia yang hidup di zaman ini, apalagi para politikus yang kebanyakannya berhati kejam, tidak kenal kemanusiaan dalam mencapai tujuannya.
Dengan pendek kata, ucapan orang itu merupakan tuduhan dan celaan terhadap sebagian sahabat, yaitu sahabat Khalifah Utsman bin Affan rodhiallohu ‘anhu, tuduhan ia telah mementingkan kepentingan pribadi daripada Al Quran dan umat Islam seluruhnya. Ini adalah tuduhan hina nan keji, tidak layak keluar dari seorang yang beriman kepada Alloh dan hari Akhir. Alloh berfirman:
مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاء عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاء بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعاً سُجَّداً يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَاناً سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِم مِّنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْراً عَظِيماً
“Muhammad itu adalah utusan Alloh, dan orang-orang yang bersama dengannya adalah keras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka: Kamu melihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Alloh dan keridhoan Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus diatas pokoknya, tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Alloh dengan mereka hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir.” (QS. Al Fath: 29)
Oleh karena itu Imam Malik bin Anas berdalilkan dengan ayat ini bahwa orang-orang rafidhah (syi’ah) adalah kafir, karena mereka telah membenci para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal Alloh telah menyatakan orang-orang kafirlah yang membenci para sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Semoga jawaban pendek ini cukup memberikan gambaran betapa sesatnya ucapan orang tersebut, wallohu a’alam bisshawab. Wassalamu ‘alaikum warahmatullah.
***
Penanya: Rizki Mula
Dijawab Oleh: Ustadz Muhammad Arifin Badri
Dukung Dakwah
Saudaraku, kami mengajak Anda untuk menjadi bagian dari tugas dakwah ini, dengan meluangkan sedikit waktu, menumpahkan sedikit pikiran, mengerahkan sedikit tenaga, dan menyisihkan sedikit harta Anda. Peran Anda tentu sangatlah berarti bagi dakwah ini. Semoga dengan amalan yang sedikit tersebut menjadi pemberat timbangan kebaikan di akhirat kelak. Peran apa yang dapat Anda berikan ? Baca selengkapnya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar